Selasa, 23 Desember 2008

Bank Syariah

Konsepnya Sudah Menjadi Kebutuhan Internasional

Terujinya perbankan syariah saat melewati krisis ekonomi pada 1997 lalu, menjadi bukti sistem syariah yang diterapkan pada perbankan layak diperhitungkan. Bahkan konsep ini telah diterapkan di negara Eropa dan Asia, seperti Inggris, China, India, dan Singapura. Pembahasan ini menjadi diskusi serius pada workshop jurnalis mengenai perbankan syariah yang mengangkat tema krisis finansial global dan prospek perbankan syariah 2009 yang digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) mengandeng Bank Muamalat di Bandung, Sabtu – Minggu (20-21/12). Ketua Tim Peneliti Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Harimurti Gunawan mengatakan, perbankan syariah lebih dari sekadar penerapan bagi hasil. Konsep syariah telah diadopsi negara-negara non-Islam karena dinilai lebih menguntungkan dan lebih aman. “Namun dalam konteks Indonesia, justru perkembangannya lambat, terutama pada tahun 1992-1997, karena belum ada undang-undang yang mengatur,” ujar Hari, Sabtu (20/12). Konsep ini pun mulai diterapkan bank konvensional dengan mendirikan unit usaha syariah. Fenomena ini menurut Hari semakin mendorong perkembangan syariah secara intensif. Prospek perbankan syariah di Indonesia, lanjut Hari, cukup potensial. Dengan jumlah penduduk yang mayoritas muslim dan sumber daya alam yang potensial, Indonesia memiliki prospek besar dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Di pasar global, sekitar 1,3 miliar penduduk muslim dunia mempresentasikan 20 persen populasi dunia dan memiliki total kontribusi mendekati 10% GNP dunia. “Perbankan syariah bukan hanya menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia, juga telah menjadi kecenderungan dunia internasional, bahkan Singapura menargetkan dapat memiliki bank syariah terbesar di Asia pada 2009 mendatang,” kata Hari. Bermunculannya perbankan syariah yang antara lain berasal dari bank konvensional, ditanggapi Avantiono Hadhianto, Asisten Direktur Bisnis Syariah International Bank Muamalat, merupakan hal positif. Menurut Tio, semakin banyak instansi perbankan syariah, konsep ini semakin banyak dikenal masyarakat. Bank Muamalat yang lahir pada 1991, memiliki 3.200 outlet yang tersebar di seluruh propinsi Indonesia, yang bekerjasama dengan PT Pos Indonesia. “Tahun 2009, ditargetkan dapat bekerjasama lagi dengan Kantor Pos yakni membuka 500 outlet,” kata Tio. (lai)

Jumat, 19 Desember 2008

Masjid Kali Pasir di Kawasan Pecinan

Mengunjungi Masjid Kali Pasir di Kawasan Pecinan
Dibuat Tahun 1700, Tetap Dimanfaatkan Hingga Sekarang

Sepintas, tidak ada yang istimewa dengan masjid yang satu ini. Semuanya tampak seperti bangunan masjid yang lainnya. Tapi jika melihat tahun pembuatan masjid ini, tentu tidak akan mengira jika usianya sekitar 308 tahun.

M.Deden Budiman – Ki Samaun

Masjid yang didirikan sekitar 1700-an di kawasan pecinaan ini terletak di sebuah gang kecil tidak jauh dari jalan Ki Samaun Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang. Meski sudah sangat tua, namun Masjid Kali Pasir hingga kini masih digunakan untuk beribadah umat Islam yang tinggal di sekitar masjid.
Dari informasi yang dihimpun, Masjid Kali Pasir merupakan warisan leluhur Kerajaan Pajajaran. Di sebut Masjid Kali Pasir karena memang lokasi masjid tersebut bernama Kampung Kali Pasir.
Masjid ini sendiri dibangun pertama kali oleh Tumenggung Pamit Wijaya, seorang utusan dari Kerajaan Pajajaran. Sesuai dengan fungsinya, pembangunan masjid ini juga untuk beribadah umat Islam yang tinggal di tempat itu.
Pada Masjid Kali Pasir terdapat beberapa ciri khas, di antaranya tiang penyangga masjid yang terbuat dari kayu jati sebanyak empat buah. Sampai saat ini, tiang penyangga tersebut masih kokoh dan belum pernah mengalami penggantian. Selain tiang penyangga, bagian yang merupakan wujud aslinya semenjak pertama kali dibangun adalah sebuah kubah kecil.
Semenjak dibangun pada tahun 1700-an, Masjid Kali Pasir telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pertama kali dipugar oleh Idar Dilaga pada tahun 1830. Pada saat itu bagian yang dipugar hanya bagian yang sudah keropos saja. Kemudian pemugaran kedua dilakukan pada tahun 1904, yaitu pada bagian menara.
Sedangkan pemugaran ketiga dilakukan pada 24 April 1959 pada bagian masjid dan menara juga tidak luput dari pemugaran. Terakhir, pemugaran dilakukan pada tahun 1961.
Pada saat pemugaran yang terakhir ini, hanya menyisakan beberapa bangunan aslinya. Menurut Engi (60), sesepuh kampung Kali Pasir bangunan asli yang terdapat pada masjid Kali Pasir hanya beberapa saja, seperti tiang penyangga dari kayu jati dan kubah. “Sedangkan menara bukan lagi bawaan aslinya,” ucap Engi.
Di belakang masjid ini juga terdapat makam Bupati Tangerang yang bernama Raden H Ahmad Penna. Tapi sangat disayangkan, keberadaan makam tokoh Tangerang ini tidak diketahui oleh khalayak umum. Selain itu, keberadaan makam juga kurang terawat dengan baik, padahal makam ini sering dikunjungi peziarah.(***)

Tugu Monumen LP Anak Tangerang

Menelusuri Sejarah Tugu Monumen LP Anak Wanita, Kota Tangerang
Dibangun Saudagar Arab, Berfungsi Sebagai Lonceng

Tugu Monumen LP Anak Wanita yang terletak di Jalan Daan Mogot, Kota Tangerang, merupakan satu dari sekian situs sejarah yang masih tersisa di Tangerang. Banyak versi cerita yang beredar akan fungsi monumen ini pada zaman dahulu. Seperti apa kondisinya?

M Deden Budiman – Daan Mogot

Dengan tinggi sekitar 10 meter, Monumen LP Anak Wanita terlihat berdiri kokoh di tengah halaman LP yang cukup luas. Meski di prasasti ditulis bangunan tersebut dibangun pada tahun 1877, namun secara umum kondisi bangunan ini cukup terawat. Catnya yang warna putih juga masih cerah, menunjukkan sering diganti. Begitu juga dengan rumput yang ada di sekelilingnya pun terpotong rapi.
Hingga sekarang, belum ada keterangan pasti yang menyebutkan fungsi monumen ini sebenarnya pada zaman dulu. Sebagian masyarakat yang tinggal tidak jauh dari lokasi itu mengatakan, bahwa fungsi monumen itu adalah sebagai tempat mengeksekusi mati narapidana yang membangkang pada VOC. Namun, sebagian masyarakat lagi mengatakan bahwa tugu itu awalnya adalah sebuah lonceng sebuah perkebunan tebu.
Menurut Abdul Gani (91), tokoh masyarakat Tanah Tinggi tugu tersebut dulunya dibangun oleh Wan Kalar (sekitar abad 16-17), seorang sudagar dari Baghdad, Irak. Pada saat itu, Wan Kalar adalah seorang pemilik perkebunan tebu. Pabrik penggilingan tebu sendiri adalah bangunan LP yang sekarang.
Dari cerita yang diperolehnya secara turun temurun, kata Abdul Gani, lonceng itu dibunyikan tiga kali sehari. Lonceng pertama dibunyikan untuk menandakan waktu masuk kerja, kemudian lonceng kedua menandakan waktu istirahat dan lonceng ketiga dibunyikan sebagai pertanda pegawai pulang.
"Bahkan menurut cerita kalau lonceng dibunyikan suaranya bisa terdengar sampai radius satu kilo. Bunyinya sangat nyaring,"kata Abdul Gani, Kamis (18/12).
Tentang kabar yang menyebutkan fungsi tugu itu sebagai tempat eksekusi mati para narapidana pada zaman VOC dibantah oleh Abdul Gani. Yang benar kata dia, pada saat itu Wan Kalar bekerjasama dengan VOC dalam mengelola perusahaan tebu.
"VOC ketika itu yang bertindak sebagai pembeli gula yang dihasilkan Wan Kalar,"katanya.
Sebagai bukti bahwa tempat itu dulunya adalah pabrik pengolahan tebu, Abdul Gani merujuk adanya makan Wan Kalar yang letaknya di samping tugu. Sampai saat ini kondisi makam tersebut kurang terawat. Disamping makam Wan Kalar juga terdapat satu makam lagi yang diduga makan istrinya.
Setelah Indonesia merdeka, lanjut Abdul Gani, fungsi bangunan tersebut diubah menjadi Akademi Militer Nasional (AMN) yang pertama. Sebagai Kepala AMN ketika itu adalah Mayor Daan Mogot yang kemudian namanya dibadikan menjadi nama salah satu jalan utama di Tangerang. Sedangkan fungsi tugu tersebut juga masih tetap dipertahankan sebagai lonceng yang dibunyikan setiap satu jam sekali.
"Kalau malam bunyinya sangat nyaring,"kata Abdul Gani.
Namun, setelah gedung tersebut dialihfungsikan menjadi LP sekitar tahun 1950-an lonceng yang terdapat di monumen tersebut hilang. “Saya sendiri sampai saat ini tidak tahu keberadaan loncengnya, padahal lonceng yang terdapat dalam monumen tersebut memiliki makna yang dalam,” jelasnya. (***)

Tjoe Soe Kong, Kelenteng Tertua di Tangerang

Menelusuri Sejarah Kelenteng Tertua di Tangerang
Diyakini Pernah Menyelamatkan Warga Korban Tsunami

Kelenteng Tjo Soe Kong di Jalan Raya Tanjung Kait, Mauk, Kabupaten Tangerang merupakan kelenteng tertua di Tangerang yang menyimpan segudang cerita. Bangunan berusia tua yang masih berdiri kokoh di sana, memegang peran penting ketika digunakan sebagai referensi sejarah.

BAHA SUGARA-Mauk

Keberadaan bangunan tua tidak lepas dari catatan sejarah. Begitu juga dengan Kelenteng Tjo Soe Kong yang telah mengiringi perkembangan wilayah ini selama 216 tahun. Sejak dibangun pada tahun 1792, kontruksi kelenteng itu tidak berubah.
Dua pagoda setinggi enam meter di depan kelenteng menjadi ciri tersendiri Kelenteng Tjo Soe Kong ini. Dua pagoda yang dibangun bersamaan dengan dibangunnya bangunan kelenteng hingga kini sama sekali belum pernah dipugar. Selain itu, batu berbentuk nisan pemberian dari seorang warga Negara Perancis, Andreas, masih terawat rapih di dalam kelenteng. Batu nisan ini dibawa langsung dari Tiongkok pada saat kelenteng mulai dibangun.
Ada satu cerita yang masih diyakini berkembang kuat di masyarakat terkait keberadaan kelenteng ini. Konon ceritanya, kelenteng ini telah melindungi dan menyelamatkan ratusan warga di sekitar Pantai Utara Tanjung Kait, saat terjadi Tsunami pada 1883 silam.
“Kala itu, Gunung Krakatau meletus sehingga terjadi tsunami di sepanjang pesisir Pantai Tanjung Kait ini. Semua yang ada di daratan dekat pantai musnah tersapu dan terendam ombak, kecuali kelenteng ini. Warga yang berlindung di kelenteng ini pun akhirnya selamat,” kata Joksan, pengurus kelenteng kepada Harian Tangerang, Jumat (19/12).
Untuk mengenang cerita sejarah itu, kata Joksan, lahirlah lagu berjudul Kramat Karam. Namun sayang, tidak banyak warga keturunan saat ini, yang hafal dengan syair lagu tersebut.
Dijelaskan Joksan, kelenteng ini pernah menjadi primadona di tahun 1960 hingga 1980. Kelenteng kerap disinggahi umat setiap malam Ce It dan Cap Go yaitu tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek. Mereka beribadah sambil menikmati panorama pesisir pantai utara Tanjung Kait di malam bulan purnama.
Namun, sejak 1990 sampai 2006, kehadiran umat menurun drastis. Kelenteng hanya ramai pada saat perayaan-perayaan tertentu seperti Sin Cia atau Sejit (hari ulang tahun dewa). Pada saat perayaan ini, ratusan pengunjung dari berbagai penjuru Indonesia bahkan dari mancanegara memadati tempat ini.
Saat Harian Tangerang berkunjung ke kelenteng ini, kelenteng ini seperti tak terurus dengan baik karena banyak sekali sampah-sampah berserakan di sekitar lokasi tempat peribadatan ini. Kambing-kambing warga berkeliaran di halaman kelenteng. Tak cuma itu, kehadiran sejumlah pengemis di sekitar kelenteng juga ikut merusak pemandangan dan sangat mengganggu aktivitas persembahyangan akibat ada kecenderungan pemaksaan terhadap pengunjung.
Pengurus yayasan terus berupaya mengembalikan nostalgia masa lalu dan menghidupkan kembali masa kejayaan kelenteng ini. Selain sebagai tempat ibadah, area kelenteng yang sejak dulu menjadi objek wisata pantai bagi umat luar kota akan tetap dipertahankan.
Saat ini pengurus kelenteng sedang membangun sebuah gazebo dan taman air, bertempat di halaman depan Kelenteng Tjo Soe Kong. Gazebo adalah tempat berbentuk kolam untuk umat melakukan ritual melepas sial. Di tempat ini, umat melepaskan binatang air ke dalam kolam.
“Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Putra Gubernur Banten Atut Chosiyah pada Sejit Kongco Tjo Soe Kong 3 Desember 2008 kemarin,” kata Joksan. (cr-2)