Jumat, 19 Desember 2008

Tjoe Soe Kong, Kelenteng Tertua di Tangerang

Menelusuri Sejarah Kelenteng Tertua di Tangerang
Diyakini Pernah Menyelamatkan Warga Korban Tsunami

Kelenteng Tjo Soe Kong di Jalan Raya Tanjung Kait, Mauk, Kabupaten Tangerang merupakan kelenteng tertua di Tangerang yang menyimpan segudang cerita. Bangunan berusia tua yang masih berdiri kokoh di sana, memegang peran penting ketika digunakan sebagai referensi sejarah.

BAHA SUGARA-Mauk

Keberadaan bangunan tua tidak lepas dari catatan sejarah. Begitu juga dengan Kelenteng Tjo Soe Kong yang telah mengiringi perkembangan wilayah ini selama 216 tahun. Sejak dibangun pada tahun 1792, kontruksi kelenteng itu tidak berubah.
Dua pagoda setinggi enam meter di depan kelenteng menjadi ciri tersendiri Kelenteng Tjo Soe Kong ini. Dua pagoda yang dibangun bersamaan dengan dibangunnya bangunan kelenteng hingga kini sama sekali belum pernah dipugar. Selain itu, batu berbentuk nisan pemberian dari seorang warga Negara Perancis, Andreas, masih terawat rapih di dalam kelenteng. Batu nisan ini dibawa langsung dari Tiongkok pada saat kelenteng mulai dibangun.
Ada satu cerita yang masih diyakini berkembang kuat di masyarakat terkait keberadaan kelenteng ini. Konon ceritanya, kelenteng ini telah melindungi dan menyelamatkan ratusan warga di sekitar Pantai Utara Tanjung Kait, saat terjadi Tsunami pada 1883 silam.
“Kala itu, Gunung Krakatau meletus sehingga terjadi tsunami di sepanjang pesisir Pantai Tanjung Kait ini. Semua yang ada di daratan dekat pantai musnah tersapu dan terendam ombak, kecuali kelenteng ini. Warga yang berlindung di kelenteng ini pun akhirnya selamat,” kata Joksan, pengurus kelenteng kepada Harian Tangerang, Jumat (19/12).
Untuk mengenang cerita sejarah itu, kata Joksan, lahirlah lagu berjudul Kramat Karam. Namun sayang, tidak banyak warga keturunan saat ini, yang hafal dengan syair lagu tersebut.
Dijelaskan Joksan, kelenteng ini pernah menjadi primadona di tahun 1960 hingga 1980. Kelenteng kerap disinggahi umat setiap malam Ce It dan Cap Go yaitu tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek. Mereka beribadah sambil menikmati panorama pesisir pantai utara Tanjung Kait di malam bulan purnama.
Namun, sejak 1990 sampai 2006, kehadiran umat menurun drastis. Kelenteng hanya ramai pada saat perayaan-perayaan tertentu seperti Sin Cia atau Sejit (hari ulang tahun dewa). Pada saat perayaan ini, ratusan pengunjung dari berbagai penjuru Indonesia bahkan dari mancanegara memadati tempat ini.
Saat Harian Tangerang berkunjung ke kelenteng ini, kelenteng ini seperti tak terurus dengan baik karena banyak sekali sampah-sampah berserakan di sekitar lokasi tempat peribadatan ini. Kambing-kambing warga berkeliaran di halaman kelenteng. Tak cuma itu, kehadiran sejumlah pengemis di sekitar kelenteng juga ikut merusak pemandangan dan sangat mengganggu aktivitas persembahyangan akibat ada kecenderungan pemaksaan terhadap pengunjung.
Pengurus yayasan terus berupaya mengembalikan nostalgia masa lalu dan menghidupkan kembali masa kejayaan kelenteng ini. Selain sebagai tempat ibadah, area kelenteng yang sejak dulu menjadi objek wisata pantai bagi umat luar kota akan tetap dipertahankan.
Saat ini pengurus kelenteng sedang membangun sebuah gazebo dan taman air, bertempat di halaman depan Kelenteng Tjo Soe Kong. Gazebo adalah tempat berbentuk kolam untuk umat melakukan ritual melepas sial. Di tempat ini, umat melepaskan binatang air ke dalam kolam.
“Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Putra Gubernur Banten Atut Chosiyah pada Sejit Kongco Tjo Soe Kong 3 Desember 2008 kemarin,” kata Joksan. (cr-2)

Tidak ada komentar: